Sejatinya saat seseorang memutuskan untuk menekuni profesi sebagai guru, lepas dari ”keterpaksaan” atau memang panggilan nurani, sikap totalitas mutlak diperlukan. Totalitas disini bermakna tumbuhnya kesadaran bahwa menjadi guru tidak bisa dilakoni dengan setengah hati. Karena guru secara moral dan akademis berada di garda terdepan dalam proses mencerdaskan sebuah bangsa. Bisa dilihat, dinegara manapun di dunia ini yang tingkat kemakmurannya tinggi pasti berawal dari baiknya mutu pendidikan di negara tersebut. Sehingga tidak heran tatkala Kota Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak di terjang bom atom tentara sekutu hal pertama yang ditanyakan oleh kaisar Jepang saat itu bukanlah berapa jumlah korban yang tewas melainkan berapa jumlah guru yang masih hidup. Sebuah pertanyaan yang menggelitik karena terbukti hanya dalam rentang waktu yang tidak lama Jepang mampu bangkit dan menjadi salah satu raksasa ekonomi yang diperhitungkan di dunia Internasional. Sungguh merupakan wujud nyata kepedulian negara terhadap keberadan guru.
Lantas bagaimana dengan negara kita ? Sejak diberlakukannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, revolusi menyeluruh terhadap dunia pendidikan mulai ditabuh. Mulai dari kurikulum sampai berbagai pranata pendukungnya. Karena dalam UU tersebut secara gamblang menegaskan bahwa guru sebagai salah satu komponen utama dalam dunia pendidikan haruslah guru-guru yang profesional. Tugasnya tidak lagi terbatas pada proses Kegiatan belajar-mengajar tetapi lebih jauh sebagai designer dan pelaksana bimbingan dan penyuluhan, melakukan penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Pekerjaan sebagai pendidikpun bukan lagi dianggap sebagai ” batu loncatan” pengisi kekosongan waktu, melainkan diakui sebagai profesi yang setara dengan dokter atau insinyur.
Lebih jauh tekad pemerintah untuk membenahi dunia pendidikan di Indonesia dibuktikan dengan menaikkan anggaran pendidikan secara bertahap sampai mencapai angka 20 % dari APBN. Kucuran dana yang mencapai triliun rupiah itu digelontorkan demi memperbaiki mutu pendidikan di tanah air. Baik infra struktur maupun Sumber Daya Manusianya, dalam hal ini guru dan dosen.
Namun seiring dengan perbaikan ”nasib guru ” seperti di uraikan di atas, tuntutan terhadap guru yang berkualitas dan profesionalpun mengemuka baik dari pemerintah maupun masyarakat. Berbagai reward yang didapat insan pendidikan bukanlah cek kosong tanpa nilai. Ada seabreg tugas dan kewajiban yang harus dikerjakan seorang guru. Mulai dari kelengkapan 14 tugas administrasi guru, membuat model pembelajaran yang up to date, melakukan penelitian, membuat karya tulis ilmiah sampai memenuhi kecukupan jam wajib mengajar.
Untuk guru beban tugas tersebut merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar. Khususnya pada poin jam wajib mengajar. Sebagaimana yang diatur pada Permendiknas No.39 tahun 2009 ( pasal 1, pasal 2, pasal 3 dan pasal 5 ). Setiap guru yang berstatus PNS dan guru-guru yang sudah tersertifikasi diwajibkan mengajar minimal 24 jam per minggu. Pelanggaran terhadap ketentuan ini bisa berakibat mutasi bagi guru PNS dan terhentinya pemberian dana tunjangan profesi yang dihitung setiap bulannya untuk guru non PNS. Seperti yang dilansir oleh Sekjen Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Iwan Hermawan di harian Pikiran Rakyat ( 13/1/).
Inilah yang kemudian menimbulkan keresahan di kalangan guru khususnya yang sudah tersertifikasi. Beban mengajar sebanyak 24 jam per minggu dinilai terlalu berat mengingat pertambahan guru yang semakin banyak. Ditambah komitmen pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan nasional yang merencanakan pada tahun 2015 seluruh guru sudah harus tersertifikasi. Walhasil jika di satu sekolah terdapat 30 orang guru dan semua tersertifikasi, maka alokasi jam yang harus tersedia adalah 30 x 24 jam = 720 jam pelajaran. Sebuah angka yang fantastis sebab berdasarkan Permendiknas tahun 2006 pasal 22 menetapkan perhitungan batas maksimal alokasi waktu untuk satu sekolah berkisar antara 34 - 40 jam dikalikan jumlah kelas. Andaikata di satu lembaga pendidikan terdapat 15 kelas, maka jumlah jam maksimal adalah 40 x 15 = 600 jam pelajaran . Jika dihitung terdapat selisih kekurangan jam mengajar sebesar 720 dikurang 600 sama dengan 120 jam.
Inilah gambaran kecil yang akan terjadi manakala pemerintah tetap keukeuh menerapkan permendiknas no.39 tahun 2009.
Menurut kepala Dinas Pendidikan Dasar Bantul, Sahara, pada harian Kompas, Jum’at ( 6/11) solusi yang mungkin ditempuh untuk mengatasi persoalan ini antara lain : Dengan menambah jam pelajaran menjadi 45 jam/ minggu atau pemekaran kelas dengan cara mengurangi rasio jumlah siswa per kelas menjadi lebih sedikit.
Akan tetapi konsekuensi logis dari opsi pertama adalah siswa terpaksa tinggal di sekolah lebih lama. Akibatnya kondisi psikologis mereka bisa terganggu. Selain daripada itu solusi ini juga jelas bertentangan dengan permen tentang batas maksimal alokasi jam belajar. Sedang pilihan kedua tampaknya sulit terealisasi utamanya pada sekolah-sekolah swasta karena akan berimbas langsung pada pendapatan yayasan.
Kemudian persoalan lain yang tak kalah peliknya dari penerapan Permendiknas ini adalah untuk guru-guru yang kebetulan mengajar bidang study yang sama di satu sekolah. Dipastikan jumlah jam wajib tidak akan terpenuhi karena jam pelajaran mereka mesti dibagi dua atau tiga orang. Akibatnya sang guru terpaksa harus pontang-panting mencari sekolah lain untuk menutupi kekurangan jam tersebut. Meskipun tindakan ini dibenarkan berdasar pasal 2 ayat 1 yang menyebutkan guru dengan jam mengajar di bawah 24 jam diberi kelonggaran untuk mengajar di sekolah lain. Tapi bukankah ini berarti sang guru harus terbebani lagi dengan manajemen sekolah yang berbeda, seperti : Jadwal mengajar yang ”bertabrakan” , jam masuk dan keluar yang berbeda, serta fokus mengajar yang terbagi karena harus bolak-balik dari sekolah satu ke sekolah lainnya. Belum lagi andaikata disekolah tersebut guru-gurunya sudah tersertifikasi seluruhnya. Terkuraslah energi sang guru hanya untuk mencari sekolah lain agar bisa memenuhi tuntutan permendiknas di atas.
Kalaupun kemudian pada pasal 1 ayat 1- 6 dari permendiknas no. 39 ini menjelaskan jabatan tambahan yang di emban seorang guru seperti wali kelas, pembantu kepala sekolah, kepala laboratorium, guru BP, kepala bengkel dan lain-lain diklasifikasikan sebagai jam mengajar, tetap saja mustahil semua guru memperoleh jatah jabatan tersebut mengingat banyak sekolah, khususnya sekolah swasta, infra strukturnya belum lengkap dan sebagian besar diantarannya mengalami penurunan jumlah siswa yang cukup signifikan.
Ini berarti problem jam wajib 24 jam tetap menjadi momok menakutkan bagi guru yang tidak menginginkan tunjangan profesinya diputus di tengah jalan.
Oleh karena itu bijaksana sekali andaikata pemerintah berkenan meninjau ulang kembali penerapan permendiknas No.39 tahun 2009 ini karena bila terus dipaksakan kita khawatir akan menimbulkan ekses-ekses tidak terpuji, seperti : Pemalsuan jumlah jam mengajar, persaingan tidak sehat antara sesama guru, sampai kepada menurunnya kinerja guru karena merasa tidak punya harapan untuk memperoleh dana tunjangan profesi.
Dari itu sebagai alternatif pilihan kita ingin mengusulkan kembalikan lagi jam wajib guru-guru berstatus PNS menjadi 18 jam dengan ditambah kewajiban-kewajiban lainnya. Sedangkan untuk guru non PNS lebih dititik beratkan pada aspek disiplin saja seperti : Tingkat kehadiran, kelengkapan administrasi guru, proses belajar-mengajar yang dinamis dan terukur serta evaluasi berkala dan berkesinambungan oleh kepala sekolah dan pengawas yang berkompeten.
Sebab parameter berhasilnya sebuah pendidikan bukan semata-mata bergantung pada berapa jam guru mengajar tetapi lebih kepada seberapa jauh sosok guru tersebut bisa menginspirasi murid-muridnya untuk melakukan perubahan baik untuk diri mereka maupun bagi lingkungan sekitarnya. Seperti slogan yang berbunyi A GREAT TEACHER INSPIRES ( Guru yang luar biasa adalah guru yang menginspirasi ). S’moga.
Penulis : Guru SMK PGRI-15 Rantauprapat
Alamat : Jl. Perisai No. 46 B.Batu I
Rantauprapat, kab. Labuhanbatu,SUMUT.
21415