Beno tertegun cemas di depan cermin. Jam di kamarnya baru menunjukkan pukul 05.30 wib pagi. Tapi seperti biasa anak kelas lima di sekolah dasar Islam Terpadu ((SDIT)di kota karet ini sudah terlihat rapi. Maklum saja, pak Mahmud dan bu Laila, orang tua Beno menerapkan pola disiplin tinggi untuk anak tunggal mereka. Pukul 06.00 wib harus sudah siap menunggu bus jemputan ke sekolah.
” Apakah perkataan Ikhwan kemarin akan jadi kenyataan ?” Gumam Beno sambil mengusap-usap pipinya sebelah kiri dengan perasaan kecut. Memang betul, ada tiga benjolan kecil berwarna kemerah-merahan muncul di sana. Tiba-tiba saja ingatan Beno melayang ketika Ikhwan mengeluarkan ancamannya dua hari yang lalu. Teman sekelasnya itu berang lantaran kotak pensil kesayangannya raib dicuri orang.
” Ingat ya. Jika tiga hari dari sekarang kotak pensil saya tidak kembali, saya akan membuat dia menderita seumur hidup. Di pipinya akan tumbuh tiga benjolan kecil yang semakin lama semakin membesar. Dan dua minggu kemudian benjolan itu akan pecah membentuk lubang kecil yang mengeluarkan nanah busuk. ” Ancaman yang menakutkan itu di dengar hampir semua teman sekelas Beno . Termasuk Fauzan, Thariq, Farhan dan Dian, sahabat dekat Ikhwan. Terus terang mereka tak menduga kalau Ikhwan yang biasanya ramah dan baik ternyata bisa marah juga. Ditambah dengan ” kutukan” ala film horor. Dan sekarang, dada Beno bergemuruh kencang. Betapa tidak, kutukan Ikhwan sepertinya akan menjadi kenyataan. Korbannya pastilah dirinya karena memang dialah yang mengambil kotak pensil itu.
” Kamu sih Wan. Terlalu pelit. Masa minjam crayon sebentar aja nggak boleh.” Secercah penyesalan merayapi sanubari Beno. Pada dasarnya Beno bukanlah type anak nakal. Dia melakukan itu karena didorong perasaan jengkel. Kesal lantaran Ikhwan tidak mengizinkan Beno memakai pensil crayon miliknya saat pelajaran menggambar.
Namun apa daya. Nasi sudah menjadi bubur. Tiga benjolan kecil yang mendadak muncul di pipinya pagi ini sepertinya awal malapetaka bagi Beno. Dia yakin tidak seorangpun yang mau lagi berteman dengan dirinya. Anak laki-laki dengan pipi berlubang dan berbau busuk. Hiihh.... bergidik sekujur tubuh Beno membayangkan kondisi yang akan dialaminya. Terkucil hidup sendiri hanya berteman kesunyian.
“ Beno.. ! Cepat ! Bus jemputan sudah datang!” Teriak mama dari teras rumah membuyarkan lamunan Beno. Bergegas anak itu kemudian keluar kamar meski dengan perasaan kacau-balau.
“ Apapun yang terjadi aku harus berterus terang kepada Ikhwan. Mudah-mudahan dia mau mema’afkan ku, “ putusnya sebelum masuk ke dalam bus.
Di dalam kelas konsentrasi Beno sepenuhnya tercurah pada masalah yang menimpanya. Tidak satupun penjelasan dari guru masuk ke otaknya. Sesekali di liriknya Ikhwan yang duduk di deretan meja sébelah kanan. Aneh. Teman sekelasnya itu seperti tidak memperhatikan kegelisahan Beno.
“ Mungkin dia tidak mengira kalau yang mengambil kotak pensilnya adalah aku,” tebak Beno didalam hati
Tepat setelah bel istirahat berbunyi Beno segera beringsut menghampiri Ikhwan yang sedang asyik bermain kelereng dengan Fauzan dan Dian di dekat pagar sekolah.
“ Wan, aku minta ma’af ya. “ Ujar Beno sambil mengulurkan tangannya begitu sampai di dekat mereka. Kehadiran Beno yang mendadak membuat Ikhwan, Fauzan dan Dian menghentikan permainan mereka. Seraya mengernyitkan dahi Ikhwan menyahut :
“ Memangnya kamu salah apa, Ben?” Tanyanya terheran- heran. Sejenak Beno tertegun. ” Ternyata tidak mudah untuk mengakui kesalahan kita kepada orang lain, ” desah Beno berusaha menguatkan dirinya. ”Tetapi biar bagaimanapun aku tidak boleh mundur, maju terus walaupun harus menerima dampratan dari Ikhwan. ” suara nuraninya memberi semangat.
Akhirnya setelah menarik nafas panjang Beno pun buka mulut.
“ Sebenarnya yang mengambil kotak pensil kamu adalah aku,” ujar Beno sambil merogoh saku celananya. Sebuah kotak pensil berwarna merah dikeluarkannya lalu di sodorkan ke hadapan Ikhwan.
Ikhwan tersentak. Perasaan senang bercampur kaget seketika memenuhi benaknya.
“ Kamu Ben ?!.. Kok bisa. Padahal kalian kan berteman baik,” sergah Fauzan spontan tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
” Iya, Ben. Ikhwan kan tidak pernah pelit. Teganya kamu mencuri kotak pensilnya.” Timpal Dian ketus. Sekali lagi Beno hanya tertunduk diam. Penyesalan yang dalam jelas terpancar dari raut wajahnya yang memelas. Melihat kegusaran sahabatnya tersebut Ikhwan buru-buru menyela : ” Sudahlah. Jangan terus memojokkan Beno. Dia sudah menyesal dan mengakui perbuatannya. Biar bagaimanapun Beno teman kita juga kan ?” Ujar Ikhwan menenangkan Fauzan dan Dian sambil menggenggam tangan Beno.
” Walau perbuatanmu ini tidak terpuji tapi sebagai teman aku memaafkanmu, Ben. ” Kata Ikhwan kepada Beno sambil tersenyum sumringah. Mendengar ucapan Ikhwan tersebut barulah Beno berani menatap teman-temannya. Plong sudah perasaannya mengetahui kalau Ikhwan mau memaafkan kekhilafannya.
Akan tetapi. Ups ..... Mendadak Beno teringat sesuatu dan meraba pipinya.
” Wan ..! bagaimana dengan benjolan di pipi kiri ini ? Bukankah ini pertanda kutukanmu akan jadi kenyataan ?” Tanya Beno harap-harap cemas sambil memperlihatkan tiga bintik kemerahan yang nongol di sana. Ketiga temannya serentak mengamati tiga benjolan yang ditunjukkan Beno. Beberapa detik kemudian.
” Ha... ha... ha...,” terdengar tawa lepas mereka.
” Ben... Ben... Aku ini bukan dukun atau orang sakti. Mana bisa mengutuk orang lain. Bentol itu kan bekas digigit nyamuk. Ucapanku yang kemarin cuma sekedar gertak untuk menakut-nakuti si pencuri saja. ” Ujar Ikhwan sambil memegang perutnya menahan geli. ” Lagian kamu lupa ya dengan pesan Pak Sandy. Nasib baik dan buruk itu kan datangnya dari Allah SWT. Bukan dari manusia apalagi dari seorang anak kecil.” Terang Ikhwan seraya menggoyang-goyangkan telunjuknya menirukan gerakan pak Sandy, guru Agama mereka.
” Ooo... sekarang kami baru mengerti. Ternyata Beno mengaku karena takut terkena kutukan Ikhwan. Benar begitu, Ben ? ” Sambung Fauzan dan Dian menimpali penjelasan Ikhwan sambil tertawa lebar. Lenyap sudah rasa jengkel di hati mereka berganti dengan keceriaan melihat kekonyolan Beno.
Sementara wajah Beno seketika memerah saga. Bibirnya terkatup rapat. Tidak ada yang bisa dia ucapkan kecuali menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Tapi diamnya kali ini bukan lantaran takut melainkan karena menahan rasa malu. Yaa... Beno malu sebab terlalu mudah percaya kepada kutukan Ikhwan sekaligus meragukan kekuasaan Tuhan yang mengatur hidup manusia. (***)